Selasa, 30 Oktober 2012

ILMU SOSIAL DASAR LOKAL

Dua Juta Buruh Siap Mogok Kerja 


JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah dianggap gagal menjalankan amanat konstitusi, yaitu menyejahterakan rakyat, khususnya memperbaiki nasib pekerja/buruh di Tanah Air.

Karena itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI)/anggota Presidium Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) Said Iqbal memastikan, lebih dari 2 juta pekerja/buruh dari 21 kabupaten/kota sentra industri akan melakukan aksi mogok kerja. Aksi tersebut, katanya, dalam rangka menuntut hak-hak buruh yang belum terpenuhi.
Aksi mogok kerja atau menghentikan produksi di lokasi perusahaan dan kawasan industri itu akan dilakukan buruh secara serentak pada 3 Oktober 2012. "Buruh menuntut penghapusan outsourcing (sistem alih daya), menolak upah murah (hostum), dan menuntut jaminan kesehatan untuk seluruh rakyat tanpa terkecuali pada tahun 2014," kata Said di Jakarta, Selasa.
Aksi mogok kerja buruh akan digelar di Jakarta, Bekasi, Bogor, Depok, Tangerang, Serang, Cilegon, Karawang, Purwakarta, Sukabumi, Cimahi, dan Bandung. Juga di Semarang, Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Pasuruan, Gresik, Batam, Karimun, Medan, Deli, Makassar, dan Bitung. Sementara di Aceh, Riau, Bengkulu, Jambi, Lampung, Kaltim, Kalsel, Sulut, Gorontalo, Sultra, dan Papua. buruh melakukan unjuk rasa ke DPRD setempat.
Menurut Said, untuk pemanasan awal sebelum mogok nasional pada 3 Oktober 2012, MPBI dan Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) akan mengerahkan 10.000 buruh berunjuk rasa di Kementerian Kesehatan serta Kementerian Nakertrans di Jakarta, Kamis (27/9) besok. "Kami menuntut hak-hak yang belum dipenuhi dan meminta pemerintah segera mewujudkan kesejahteraan buruh," katanya.
Sementara itu, dalam keterangan tertulisnya, Ketua Majelis Pengawas Organisasi Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (K-SBSI) Rekson Silaban mengatakan, pemerintah harus benar-benar membatasi pelaksanaan outsourcing dan sistem kerja kontrak. Jika tidak dikendalikan, kedua sistem kerja itu membuat buruh rentan terimbas krisis ekonomi serta mudah tersulut konflik sosial.
"Kondisi masyarakat di negara yang mempraktikkan outsourcing dan kerja kontrak demikian tinggi cenderung rawan masalah sosial," tutur anggota Dewan Pengarah Organisasi Buruh Internasional (ILO) itu.
Menurut Silaban, sistem outsourcing dan kerja kontrak seharusnya dibatasi dan dihambat. Beberapa negara secara jelas menetapkan batas maksimal jumlah buruh di suatu perusahaan dengan sistem outsourcing, di samping melarang kompetisi upah rendah. Mereka juga menerapkan upah lebih tinggi untuk buruh kontrak dan outsourcing. Jadi Indonesia seharusnya bisa melakukan hal yang sama.
"Pemerintah jangan terjebak pikiran there is no alternative (tidak ada alternatif). Tapi berpikirlah seperti another world is possible (kemungkinan selalu ada di sisi lain). Pelajaran atas revolusi di Mesir, Tunisia, Libia, dan pergantian kekuasaan di Italia, Prancis, Spanyol, serta Yunani seharusnya menjadi pelajaran bagi semua pemerintah. Semua pergolakan rakyat yang berujung pergantian rezim bermula dari masalah pekerjaan," ujar Silaban.
Sementara itu, Ketua DPN Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hasanuddin Rachman meminta pemerintah memfasilitasi pertemuan perwakilan buruh/pekerja dengan pengusaha. Menurut dia, aksi mogok massal dan demonstrasi buruh dalam menyampaikan tuntutan hanya akan merugikan masyarakat dan pengusaha serta perekonomian nasional.
"Aksi buruh/pekerja memang tidak bisa disalahkan. Ini dikarenakan demonstrasi dan mogok kerja memang diizinkan perundang-undangan. Sekarang tinggal bagaimana pemerintah mengaturnya agar semua berjalan baik," kata Hasanuddin.
Dia menyebutkan, perumusan undang-undang ketenagakerjaan merupakan wewenang DPR dan pemerintah, sedangkan pengusaha hanya menjalankan apa yang diamanatkan regulasi. Karena itu, pemerintah harus menyikapi cepat masalah yang selalu mendorong buruh melakukan aksi mogok kerja dan demonstrasi yang merugikan dunia usaha.
"Kalau situasi buruh selalu bergejolak, mana ada pengusaha mau berinvestasi? Bahkan, kemungkinan besar pengusaha yang sudah telanjur berinvestasi malah berpikir hengkang ke negara lain," tutur Hasanuddin.
Menurut dia, dalam melaksanakan outsourcing dan kerja kontrak, pengusaha mematuhi peraturan dan perundang-undangan. Justru itu, pemerintah, pengusaha, serta buruh harus duduk bersama untuk bermusyawarah mencari solusi atas persoalan di bidang ketenagakerjaan.
"Jadi jangan selalu menyalahkan kami pengusaha, karena memang aturan yang memperbolehkan sistem itu (outsourcing) diberlakukan. Kami sendiri siap untuk duduk bersama dan melakukan musyawarah," ucapnya.
Sementara itu, Mennakertrans Muhaimin Iskandar mengatakan, pemerintah segera menetapkan peraturan baru untuk memperketat penerapan sistem outsourcing dan kerja kontrak. Penetapan aturan yang baru tinggal menunggu pertemuan tripartit antara pemerintah, buruh, dan pengusaha.
Pemerintah menyadari upah murah bukan menjadi standar daya tarik investasi. Hal ini dikarenakan upah murah yang tidak menyejahterakan pekerja akan menjadi permasalahan di kemudian hari. Pemerintah siap melakukan dialog dengan para pekerja/buruh untuk membicarakan masalah-masalah di bidang ketenagakerjaan.
Dalam hal ini, pemerintah sangat terbuka serta akan selalu menjembatani perbedaan pandangan antara pengusaha dan pekerja, sehingga kompromi dapat tercapai.
"Semua pihak sudah sepakat bahwa peningkatan upah menuju upah layak merupakan salah satu faktor untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja. Kita terus melakukan dialog dan menyerap aspirasi para pekerja/buruh. Tentunya agar semua masalah bisa kita selesaikan tanpa harus mogok dan berunjuk rasa," tuturnya.
Di tempat terpisah, ratusan buruh PT Frisian Flag Indonesia yang berlokasi di Jakarta Timur, Selasa (25/9), menggelar demo menolak penggunaan outsourcing di perusahaan. Kalangan buruh yang tergabung dengan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (K-SBSI) ini mendesak perusahaan untuk meningkatkan status buruh menjadi karyawan tetap.
"Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terutama Pasal 65, jelas menyatakan pada kegiatan produksi yang bersifat langsung, perusahaan tidak boleh menggunakan karyawan outsourcing," ujar Kepala Divisi K-SBSI Frisian Flag Sunardi.
Menurut dia, di pabrik tersebut terdapat 1.700 karyawan, namun hanya sekitar 300 orang yang berstatus karyawan tetap, sementara 1.400 orang lainnya masih berstatus kontrak.
"Jelas tidak adil. Kita yang kerja bertahun-tahun belum diangkat jadi karyawan tetap," ucapnya.

Sumber : http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=312060

Tidak ada komentar:

Posting Komentar