Selasa, 10 Januari 2012

KASUS PENDERITAAN

Kasus Lumpur Lapindo, Mau Dibawa Kemana?
Oleh : Arnaldi Nasrum, Tegal Parang, Mampang, Jakarta Selatan
29 Mei 2011 nanti, tepat 5 tahun kasus Lapindo. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, kasus ini semakin tenggelam di tengah banyaknya permasalahan yang terjadi di Indonesia. Atau mungkin saja sengaja ditenggelamkan. Kasus yang terjadi sejak 29 Mei 2006 ini semakin tidak jelas saja penyelesaiannya. Pemerintah seakan-akan lupa dengan peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur ini.
Kasus lumpur Lapindo menjadi pukulan bagi warga Porong yang sekaligus menjadi sorotan utama publik. Bagiamana tidak, peristiwa meluapnya lumpur Lapindo ini telah menenggelamkan seluruh tanah, rumah dan harapan warga porong yang mendapatkan simpati besar dari masyarakat Indonesia. Semakin hari luapan lumpur Lapindo semakin meluas. Konsekuensinya, lumpur Lapindo telah menyebabkan tergenangnya kawasan pertanian, pemukiman, dan perindustrian di tiga kecamatan sekitarnya. Hal ini tentunya sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat setempat. Terdapat 60 ribu lebih orang mengungsi. Selain itu, banyak gedung sekolah dan berbagai sarana umum seperti jalan tol, listrik, pipa gas, air minum dan telekomunikasi yang terganggu bahkan tak bisa lagi digunakan.
Tentu saja dalam hal ini yang menjadi korban adalah masyarakat setempat. Potret penderitaan korban lumpur Lapindo yang berlarut-larut hingga empat tahun lebih ini seharusnya tidak perlu terjadi jika sejak awal warga Porong diberikan informasi yang benar. Sebelum pengeboran, saat terjadinya semburan lumpur hingga setelah lumpur menenggelamkan Porong, masyarakat sering menerima penyesatan informasi. Dengan kata lain, warga Porong tidak mendapatkan informasi yang cukup mengenai resiko bencana ekologi dari pengeboran yang dilakukan di wilayah Porong. Kondisi geologi mengenai adanya potensi bencana justru baru dipetakan dan kemudian diinformasikan setalah muncul semburan lumpur. Kini semuanya nampak telah terlambat. Hal ini diperparah lagi dengan gencarnya pencitraan yang dilakukan lewat media. Tidak jarang kita melihat media yang selalu mengangkat pemberitaan mengenai lumpur Sidoarjo, bukan lumpur Lapindo. Hal ini tentunya mengindikasikan adanya upaya pengalihan persepsi masyarakat.
Di lain hal, dalam upaya penyelesaian kasus tersebut, pemerintah dinilai tidak serius dan cenderung hanya memberikan solusi dangkal. Hal ini terlihat dari penetapan kawasan lumpur Lapindo sebagai kawasan wisata geologi yang sekaligus dinilai sebagai penghinaan logika. Permasalahan lumpur Lapindo yang saat ini terus bergulir bukan lagi sekedar persoalan semburan lumpur, akan tetapi persoalan ini telah dipolitisasi sehingga lari dari penyelesaian masalah secara substansi.
Dalam kasus ini, Polda Jawa Timur telah menetapkan 12 tersangka, yaitu 5 orang dari PT Medici Citra Nusantara, 3 orang dari PT Lapindo Brantas, 1 orang dari PT Energi Mega Persada dan 3 orang dari PT Tiga Musim Jaya. Para tersangka dijerat Pasal 187 dan Pasal 188 KUHP dan UU No 23/1997 Pasal 41 ayat 1 dan Pasal 42 tentang pencemaran lingkungan, dengan ancaman hukum 12 tahun penjara.
Namun polisi sangat salah jika melakukan proses hukum terhadap 12 orang tersangka tersebut. Dalam pasal 46 UUPLH (Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup) tuntutan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam suatu korporasi. Sedangkan pihak yang ditetapkan sebagai tersangka adalah orang lapangan yang melakukan pekerjaan teknis saja. Kita mengetahui bahwa Lapindo dimiliki oleh dua pengusaha besar yaitu Aburizal Bakrie dan Arifin Panigoro. Seharusnya kedua orang tersebutlah yang dikenai tanggung jawab oleh polisi.
Ada kepentingan yang bermain di belakang kasus ini. Presiden telah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 14/2007. Melalui Perpres tersebut pemerintah telah menetapakan bahwa PT Lapindo Brantas harus bertanggung jawab atas bencana lumpur lapindo. Namun hal yang aneh adalah pemerintah membatasi area yang akan menjadi tanggung jawab Lapindo. Padahal yang terjadi di lapangan adalah luapan tersebut melebar hingga menenggelamkan desa lain. Hal ini menimbulkan konflik di antara masyarakat sendiri. Selain itu PT Lapindo hanya membayarkan uang ganti rugi sebesar dua puluh persen dan sisanya ditanggung oleh pemerintah lewat APBN. Hal ini sangat tidak logis dan aneh. Dalam UUPLH, poluter harus membayarkan kerugian yang diderita. Tanggung jawab mutlak melekat pada poluter dan ditanggung secara penuh oleh poluter. Sehingga dalam kasus ini terasa janggal karena APBN dikorbankan untuk membantu Lapindo.
Dalam penyelesaian kasus lumpur Lapindo, pemerintah tentunya diharapkan mengambil langkah-langkah konkret dengan memperhatikan kepentingan rakyat. Banyak harapan yang muncul, tidak hanya dari warga porong setempat tapi juga warga Indonesia yang selalu menanti senyuman para korban.

SUMBER:wordpress.com/2011/12/31/kasus-penderitaan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar